PRABU SILIWANGI: TOKOH MITOLOGI
Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Kearifan lokal dalam Perspektif Budaya Sunda, mengatakan bahwa tulisan Nandang Kusnandar “Prabu Siliwangi Tokoh Mitologi?” (sk. Pikiran Rakyat, 15 April, 2011) adalah contoh bagaimana seorang bukan filolog dalam membaca naskah melakukan penafsiran seénaknya, sehingga jadi ngaco. Dia mengutip naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang sudah ditulis Ajip yang menunjukkan bahwa dalam naskah itu nama Siliwangi hanya disebut sebagai judul carita pantun di samping carita pantun Langgalarang, Banyakcatra dan Haturwangi.
Tapi dia kemudian menyebut naskah “Koropak 630 yang ditulis pada 1518” yang menyatakan bahwa “waktu itu tokoh Siliwangi masih hidup (meninggal 1521).” Lalu dianalogikan dengan Raja Airlangga yang menyuruh Empu Kanwa menulis kakawin Arjuna Wiwaha dan Empu Darmaja menulis Smaradhahana. Nandang Kusnandar menulis tentang naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian dan “Koropak 630” seakan-akan dua naskah yang isinya saling tunjang. Padahal naskah Sanghiang Kanda ng Karesian itu adalah Koropak 630. Disebut Koropak 630, sesuai dengan nomor koropak tempatnya disimpan. Disebut Sanghiang Siksa Kandang Karesian, berdasarkan isinya. Dan di dalam naskah itu tidak ada cerita bahwa Siliwangi masih hidup atau baru meninggal tahun 1521. Dalam naskah Sanghiang Siksa Kanda ng Karesian yang adalah Koropak 630, nama Siliwangi hanya sekali disebut, yaitu sebagai nama lakon pantun. Bahwa dalam koropak itu ada keterangan tentang Siliwangi masih hidup dan bahwa dia meninggal tahun 1521, hanyalah fantasi Nandang.
Perbandingan dengan Raja Airlangga yang menyuruh Empu Kanwa dan Empu Darmaja menulis Arjuna Wiwaha dan Smaradhahana tidak tepat, karena dalam sejarah Sunda tidak ada tradisi raja mempunyai bujangga keraton seperti di Jawa. Carita pantun bukanlah karya para bujangga keraton, melainkan lahir dan berkembang sebagai cerita rakyat. Di Jawa para raja selalu mempunyai bujangga keraton, selain Airlangga juga Raja Jayabaya mempunyai Empu Panuluh yang menulis kakawin Bharatayudha, Prabu Hayam Wuruk mempunyai Prapanca yang menulis Nagarakertagama. Tradisi yang terdapat dalam suatu kebudayaan atau bangsa belum tentu ada juga dalam kebudayaan atau bangsa lain. Apa yang biasa di lingkungan kerajaan Jawa ternyata tidak ada di lingkungan kerajaan Sunda.
Ajip juga mengemukakan bahwa kecerobohan Nandang Kusnandar dalam membaca (terjemahan) naskah, diperlihatkan pula ketika ia membaca Bujangga Manik yang dimuat dalam Tiga Pésona Sunda Kuna. Nandang menulis bahwa perjalanan kedua Bujangga Manik ke arah Timur itu disebut sebagai “Sakakala Silih Wangi” dan menetapkan bahwa itu “terjadi sebelum penobatan Sri Baduga 1482”. Perlu dijelaskan bahwa menurut Dr. Noorduyn dan Prof. A. Teeuw yang meneliti naskah itu, dalam naskah Bujangga Manik yang disimpan di Perpustakaan Bodlean, Oxford, Inggris sejak 1627 atau 1629 itu tidak ada catatan kapan naskah itu ditulis dan tak ada catatan kapan Bujangga Manik melakukan perjalanannya. Tapi ketika membaca bahwa Bujangga Manik saat di Pemalang teringat pada ibunya, sehingga ingin segera pulang dan naik kapal Melaka, sedangkan Kesultanan Melaka muncul pada paruh kedua abad ke-15 sampai dijajah Portugis tahun 1521, Teeuw membuat perkiraan “Barangkali pada masa inilah kisah ini berlangsung (ditulis?)”.
Dengan lancang Nandang Kusnandar menyebut bahwa “Perjalanan ini disebut sebagai Sakakala Silih Wangi”. Disebut lancang karena dalam naskah itu tidak ada keterangan bahwa perjalanan Bujang- Manik itu adalah “Sakakala Silih Wangi”. Kalimat “Sakakala Silih Wangi” hanya disebut sekali dalam naskah itu, yaitu waktu ga melukiskan perjalanan Bujangga Manik melewati Kuningan :
Sacu(n)duk ka Luhur Agung
Meu(n)tasing di Cisanggarung
Sadatang ka tungtung Sunda
Nepi ka Arega Jati.
Sacu(n)duk ka Jalatunda
sakakala Silih Wangi
Samu(ng)kur aing ti inya
meu(n)tasing di Cipamali
ka kidul na gunung Agung
ka kénca lurah Berebes.
membedakan sejarah dengan fiksi, pantaslah tulisannya ngawur.
Persoalan sejarah atau mitos memang semuanya adalah ulah manusia. Manusia bisa sangat mempengaruhi dan mengubah narasi dengan sesuka hati, dan akhirnya yang terjadi adalah saling menebak, saling berasaumsi, saling mengaitkan. Kebenaran dari sejarah memang tidak akan obyektif, selalu subyektif. Tetapi yang menjadi bahaya adalah ketika narasi yang dikarang untuk memecahkan atau membuat perpecahan bangsa. Sains atau ilmu-ilmu eksakta membutuhkan data-data yang konkrit, sebagai penguat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut tidaklah mudah menungkap argumen yang diragukan, karena filologi saja bisa salah menafsirkan apalagi sejarawan yang bisa saja mengungkapkan sesuatu berdasarkan hanya dari pemikirannya sendiri.
Sumber (Diterbitkan oleh) :
Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. PT.Kiblat Buku Utama
www.lingkaraktual.com