KAB.BEKASI, Jawa Barat || LINGKARAKTUAL.COM || – Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan penjualan aset desa kembali mencuat, kali ini melibatkan tanah bengkok yang berlokasi di Desa Sukamaju.
Tanah bengkok, yang secara historis merupakan bagian dari kekayaan desa yang seharusnya dikelola untuk kepentingan masyarakat, diduga telah diperjualbelikan secara ilegal oleh oknum kepala desa.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum terhadap pengelolaan aset desa di Indonesia.
Berbagai kasus serupa di berbagai daerah menunjukkan bahwa praktik penjualan tanah bengkok oleh oknum pejabat desa bukanlah hal baru, namun tetap menjadi persoalan serius yang merugikan masyarakat.
Desa Sukamaju sendiri merupakan salah satu dari sekian banyak desa yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kecamatan Cimaung, serta Desa Bantan.
Namun, dalam konteks dugaan kasus ini, lokasi spesifik Desa Sukamaju yang dimaksud perlu diklarifikasi lebih lanjut untuk memastikan penanganan yang tepat.
“Status Hukum dan Pengelolaan Tanah Bengkok”
Tanah bengkok memiliki status hukum yang jelas sebagai bagian dari kekayaan desa yang tidak dapat dipindahtangankan sembarangan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria memberikan landasan hukum yang kuat mengenai kepastian hak atas tanah, termasuk tanah adat dan tanah yang dikelola oleh pemerintah desa.
Tanah bengkok secara spesifik merupakan tanah yang dikuasai oleh desa dan dikelola oleh kepala desa atau perangkat desa lainnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Pengelolaan tanah bengkok ini biasanya diatur dalam peraturan desa atau keputusan kepala desa yang menetapkan hak guna pakai atau hak pengelolaan bagi kepala desa atau perangkatnya sebagai bentuk tunjangan atas jabatan mereka.
Namun, hak tersebut bersifat melekat pada jabatan dan tidak dapat diperjualbelikan atau dialihkan kepada pihak lain. Penjualan tanah bengkok oleh oknum kepala desa dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang melanggar hukum, sebagaimana diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan desa.
“Dugaan Penjualan Tanah Bengkok di Desa Sukamaju”
Kasus yang sedang disorot ini terkait dengan dugaan penjualan tanah bengkok yang berlokasi di Desa Sukamaju Kecamatan Tambelang Kab. Bekasi, Meskipun detail mengenai Desa Sukamaju yang dimaksud masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut, mengingat terdapat beberapa desa dengan nama yang sama di berbagai daerah di Indonesia, namun dugaan praktik ilegal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
Tanah bengkok yang seharusnya menjadi sumber pendapatan asli desa atau dikelola untuk kepentingan umum, diduga telah dialihkan kepemilikannya secara tidak sah oleh oknum kepala desa.
Tindakan ini tidak hanya merugikan keuangan desa, tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat yang telah memilih kepala desa untuk mengelola aset desa dengan jujur dan transparan.
Menurut keterangan salah satu warga yang menempati rumah di lahan tersebut. “(A), “Ya. Insya Alloh bang, kalau di gusur mah tidak, karena luas cuma 2 hektar, dan lahan sudah padat di tempati penduduk k/l 30 rumah.”Ujarnya.
Untuk warga yang sudah menempati rumah di tanah bengkok hanya tinggal menunggu harapan saja bang, ada pemutihan biar jadi hakim milik, jadi tinggal bikin sertifikat kalau dapat pemutihan.”Ucapnya.
Warga berinisal “(A) membeli lahan/tanah bengkok dan sudah di bangun sebanyak 3 rumah, dan rencana akan di jual olehnya.
“Peran Oknum Kepala Desa dalam Dugaan Praktik Ilegal”
Dalam kasus ini, oknum kepala desa diduga menjadi pelaku utama dalam dugaan penjualan tanah bengkok. Peran kepala desa dalam pengelolaan aset desa sangatlah sentral.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat desa, kepala desa bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan desa, termasuk tanah bengkok.
Namun, ketika oknum kepala desa menyalahgunakan wewenang tersebut untuk keuntungan pribadi, hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap amanah jabatan.
“Dampak Terhadap Masyarakat dan Transparansi Pengelolaan Desa”
Penjualan tanah bengkok secara ilegal oleh oknum kepala desa memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat desa. Tanah bengkok yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan desa, peningkatan kesejahteraan warga, atau bahkan menjadi sumber pendapatan tambahan bagi perangkat desa, kini hilang atau dialihkan kepada pihak ketiga yang tidak berhak.
Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi di desa tersebut. Selain itu, praktik ini juga mencoreng prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan desa.
Masyarakat berhak mengetahui bagaimana aset desa dikelola dan digunakan. Ketika terjadi dugaan penjualan aset desa secara ilegal, hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan kontrol internal di tingkat desa.
“Penegakan Hukum dan Upaya Pemberantasan Korupsi Aset Desa”
Menangani dugaan penjualan tanah bengkok oleh oknum kepala desa memerlukan penegakan hukum yang tegas dan komprehensif. Pihak berwenang, baik kepolisian maupun kejaksaan, memiliki peran penting dalam mengusut tuntas kasus-kasus seperti ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dikenakan sanksi pidana.
Dalam konteks desa, kerugian yang ditimbulkan oleh penjualan aset desa secara ilegal dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan desa. Upayakan pemberantasan korupsi aset desa juga melibatkan peran serta masyarakat dalam melaporkan setiap dugaan penyimpangan.
(Sugianto)