Beranda Sejarah Polemik Prabu Siliwangi: Apakah Hanya Sejarah atau Hanya Mitos??

Polemik Prabu Siliwangi: Apakah Hanya Sejarah atau Hanya Mitos??

Naskah Carita Parahyangan memang menyebut nama-nama raja kerajaan (Sunda) yang beribukota di Pakuan Pajajaran, tapi tak ada nama Prabu Siliwangi disebut. Yang ada disebut adalah “Prabu Wangi”, seperti yang dikutip oléh Saléh Danasasmita: “Aya na seuweu, Prebu Wangi ngaranna, inyana Prebu Niskala Wastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusumah” (lih. Saléh Danasasmita, Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, Bandung, Kiblat, 2003, h.33).
Naskah Bujangga Manik yang disimpan di dalam koleksi Bodlean di Oxford, yang dibahas oleh Dr. Noorduyn dan Dr. A. Teeuw dalam Tiga Pesona Sunda Kuna (Jakarta, Pustaka Jaya, 2009) menyebut dua kali nama Siliwangi atau lebih tepat “Silih Wangi”. Pertama untuk menggambarkan ketampanan seseorang “Latara teuing ku kasép / Kasép manan Banyak Catra / leuwih ma nan Silih Wangi”, yang oleh Undang Darsa yang menterjemah- kan teks Sunda Kuna dalam ketiga naskah yang diteliti oleh Dr. Noorduyn dan Dr. A. Teeuw itu ke dalam bahasa Indonésia artinya “Dia itu teramat tampan / Tampan melebihi Banyak Catra/ lebih daripada Silih Wangi”. Tak ubahnya dengan sekarang pun orang menggambarkan ketampanan seseorang dengan “seperti Arjuna”, bukan berarti Arjuna itu tokoh sejarah. Arjuna tokoh wayang, Siliwangi tokoh carita pantun. Yang kedua “Silih Wangi” disebut dalam “Sadatang ka tungtung Su(n)da / nepi ka Arega Jati, sacu(n)duk ka Jalatunda / sakakala Silih Wangi”, yang diterjemahkan oleh Undang Darsa menjadi “Setibanya ke ujung perbatasan Sunda/ tiba ke Arega Jati / sampailah ke Jalatunda/ situs peninggalan Silih Wangi”. Undang Darsa menterjemahkan “saka- kala” dengan “situs”. Padahal Saléh Danasasmita dalam bukunya yang sudah disebut, menerangkan bahwa “sakakala” adalah se- macam peringatan yang dibuat untuk menghormati raja yang sudah meninggal. Perlu disampaikan bahwa sampai sekarang belum ada ahli yang menemukan jangankan meneliti “sakakala” (di) Jalatunda.
Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berasal dari tahun 1518 sudah digarap oleh tim yang terdiri dari Saléh Danasasmita, Ayatrohaédi, Tien Wartini dan Undang Darsa dimuat dalam buku Séwaka Darma, Sanghiang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, transkripsi dan terjemahan (Bandung, Proyék Sundanologi, 1987). Dalam naskah itu nama “Sili- wangi” disebut sekali, tetapi sebagai judul carita pantun. Lengkapnya berbunyi “Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, prepantun tanya” yang ter jemahannya “Bila ingin tahu tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, tanyalah juru pantun”. Benar apa yang dikatakan oleh Undang Darsa bahwa “naskah-naskah kuno yang menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno itu bagi orang yang bukan filolog bisa salah dalam menafsirkan.” Jangankan yang bukan ahli, bahkan filolog seperti Undang Darsa sendiri ternyata menafsirkan kata “Siliwangi” dalam naskah-naskah itu sebagai Prabu Siliwangi historis, padahal jelas hanya judul carita pantun.
Dalam pernyataannya itu Undang menyebut naskah-naskah yang menjadi sumber yang membuktikan adanya Prabu Siliwangi, yaitu “naskah Carita Parahyangan épisode 16 yang berada di Perpustakaan Nasional, menjelaskan seorang anak raja yang harum namanya, yaitu Niskala Wastukancana. Lalu naskah Bujangga Manik yang disimpan di perpustakaan Oxford University, Inggris menyebutkan soal Siliwangi. Demikian pula naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, naskah lontar abad XVI Maséhi kropak 421 yang menyebutkan silsilah Siliwangi. Terakhir Siliwangi juga disebut dalam naskah Wangsakerta yang berada di Musium Sri Baduga Kota Bandung.”
Moh. Amir Sutaarga kemudian melakukan penelitian dan mengidentifikasi tentang  Prabu Siliwangi. Dalam bukunya yang berjudul Prabu Siliwangi (Bandung, Duta Rakjat, 1966, cet. II, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984) setelah meneliti berbagai sumber sejarah dan karya sastera berupa wawacan dan babad seperti prasasti Batutulis, Carita Parahyangan, Sanghiang Siksa Kanda ng Karesian, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, Babad Galuh, Cerita Prabu Anggalarang, dan lain-lain. ia sampai pada kesimpulan bahwa Prabu Siliwangi dalam babad dan wawacan itu adalah raja Kerajaan Sunda Sri Baduga Maharaja (1474-1513). Idéntifikasi Amir itu kemudian disokong oléh Saléh Danasasmita meski ia sendiri tidak setuju dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amir yang tidak bersifat sejarah.
Tetapi  Ayatrohaédi, yang menolak tebakan Moh. Amir Sutaarga, dengan alasan bahwa dalam naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang berasal dari tahun 1518, tokoh Prabu Siliwangi sudah disebut sebagai judul carita pantun, padahal Sri Baduga Maharaja memerintah tahun 1474-1513. Menurut Ayatrohaédi, orang yang baru meninggal beberapa tahun mustahil sudah menjadi tokoh carita pantun (lih. Ayatrohaédi “Niskala Wastu Kancana (1348-1475) Raja Sunda Terbesar” dalam Pertemuan Ilmiah Ar kologi IV, Jakarta, 1986). Menurut pendapatnya, Prabu Niskala Wastukancana, kakék Sri Baduga Maharaja lebih cocok untuk diidentifikasi sebagai Prabu Siliwangi.
Hal tersebut bukan berarti bahwa Sri Baduga Maharaja itulah yang disebut Prabu Siliwangi karena dalam sumber-sumber sejarah hal itu tidak pernah tercantum. Artinya usaha Amir itu hanyalah usaha tebak-tebakan saja. Dengan tebakan Moh. Amir Sutaarga yang disokong oléh Saléh Danasasmita itu bukan berarti bahwa Prabu Siliwangi yang sangat tersohor dalam sastera dan mitologi itu, lantas menjadi tokoh sejarah. Sehingga tidak mustahil akan muncul ahli lain yang dengan teori dan alasan yang lain akan sampai pada kesimpulan bahwa Prabu Siliwangi itu adalah orang lain lagi.
Prabu Siliwangi mémang ada, yaitu sebagai tokoh sastera dan mitologi. Pendapat Undang Darsa yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi itu ada, karena tercantum dalam naskah-naskah, hanya membuktikan bahwa membaca naskah Sunda Kuna itu tidak mudah, bahkan filolog yang ahli naskah Sunda Kuna seperti dia pun salah dalam menafsirkan isinya.

PRABU SILIWANGI: TOKOH MITOLOGI

Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Kearifan lokal dalam Perspektif Budaya Sunda, mengatakan bahwa tulisan Nandang Kusnandar “Prabu Siliwangi Tokoh Mitologi?” (sk. Pikiran Rakyat, 15 April, 2011) adalah contoh bagaimana seorang bukan filolog dalam membaca naskah melakukan penafsiran seénaknya, sehingga jadi ngaco. Dia mengutip naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian yang sudah ditulis Ajip yang menunjukkan bahwa dalam naskah itu nama Siliwangi hanya disebut sebagai judul carita pantun di samping carita pantun Langgalarang, Banyakcatra dan Haturwangi.

Tapi dia kemudian menyebut naskah “Koropak 630 yang ditulis pada 1518” yang menyatakan bahwa “waktu itu tokoh Siliwangi masih hidup (meninggal 1521).” Lalu dianalogikan dengan Raja Airlangga yang menyuruh Empu Kanwa menulis kakawin Arjuna Wiwaha dan Empu Darmaja menulis Smaradhahana. Nandang Kusnandar menulis tentang naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian dan “Koropak 630” seakan-akan dua naskah yang isinya saling tunjang. Padahal naskah Sanghiang Kanda ng Karesian itu adalah Koropak 630. Disebut Koropak 630, sesuai dengan nomor koropak tempatnya disimpan. Disebut Sanghiang Siksa Kandang Karesian, berdasarkan isinya. Dan di dalam naskah itu tidak ada cerita bahwa Siliwangi masih hidup atau baru meninggal tahun 1521. Dalam naskah Sanghiang Siksa Kanda ng Karesian yang adalah Koropak 630, nama Siliwangi hanya sekali disebut, yaitu sebagai nama lakon pantun. Bahwa dalam koropak itu ada keterangan tentang Siliwangi masih hidup dan bahwa dia meninggal tahun 1521, hanyalah fantasi Nandang.
Perbandingan dengan Raja Airlangga yang menyuruh Empu Kanwa dan Empu Darmaja menulis Arjuna Wiwaha dan Smaradhahana tidak tepat, karena dalam sejarah Sunda tidak ada tradisi raja mempunyai bujangga keraton seperti di Jawa. Carita pantun bukanlah karya para bujangga keraton, melainkan lahir dan berkembang sebagai cerita rakyat. Di Jawa para raja selalu mempunyai bujangga keraton, selain Airlangga juga Raja Jayabaya mempunyai Empu Panuluh yang menulis kakawin Bharatayudha, Prabu Hayam Wuruk mempunyai Prapanca yang menulis Nagarakertagama. Tradisi yang terdapat dalam suatu kebudayaan atau bangsa belum tentu ada juga dalam kebudayaan atau bangsa lain. Apa yang biasa di lingkungan kerajaan Jawa ternyata tidak ada di lingkungan kerajaan Sunda.
Ajip juga mengemukakan bahwa kecerobohan Nandang Kusnandar dalam membaca (terjemahan) naskah, diperlihatkan pula ketika ia membaca Bujangga Manik yang dimuat dalam Tiga Pésona Sunda Kuna. Nandang menulis bahwa perjalanan kedua Bujangga Manik ke arah Timur itu disebut sebagai “Sakakala Silih Wangi” dan menetapkan bahwa itu “terjadi sebelum penobatan Sri Baduga 1482”. Perlu dijelaskan bahwa menurut Dr. Noorduyn dan Prof. A. Teeuw yang meneliti naskah itu, dalam naskah Bujangga Manik yang disimpan di Perpustakaan Bodlean, Oxford, Inggris sejak 1627 atau 1629 itu tidak ada catatan kapan naskah itu ditulis dan tak ada catatan kapan Bujangga Manik melakukan perjalanannya. Tapi ketika membaca bahwa Bujangga Manik saat di Pemalang teringat pada ibunya, sehingga ingin segera pulang dan naik kapal Melaka, sedangkan Kesultanan Melaka muncul pada paruh kedua abad ke-15 sampai dijajah Portugis tahun 1521, Teeuw membuat perkiraan “Barangkali pada masa inilah kisah ini berlangsung (ditulis?)”.
Dengan lancang Nandang Kusnandar menyebut bahwa “Perjalanan ini disebut sebagai Sakakala Silih Wangi”. Disebut lancang karena dalam naskah itu tidak ada keterangan bahwa perjalanan Bujang- Manik itu adalah “Sakakala Silih Wangi”. Kalimat “Sakakala Silih Wangi” hanya disebut sekali dalam naskah itu, yaitu waktu ga melukiskan perjalanan Bujangga Manik melewati Kuningan :
Sacu(n)duk ka Luhur Agung 
Meu(n)tasing di Cisanggarung 
Sadatang ka tungtung Sunda
Nepi ka Arega Jati. 
Sacu(n)duk ka Jalatunda
sakakala Silih Wangi
Samu(ng)kur aing ti inya
meu(n)tasing di Cipamali 
ka kidul na gunung Agung
ka kénca lurah Berebes.
membedakan sejarah dengan fiksi, pantaslah tulisannya ngawur.
Persoalan sejarah atau mitos memang semuanya adalah ulah manusia. Manusia bisa sangat mempengaruhi dan mengubah narasi dengan sesuka hati,  dan akhirnya yang terjadi adalah saling menebak, saling berasaumsi,  saling mengaitkan. Kebenaran dari sejarah memang tidak akan obyektif, selalu subyektif. Tetapi yang menjadi bahaya adalah ketika narasi yang dikarang untuk memecahkan atau membuat perpecahan bangsa. Sains atau ilmu-ilmu eksakta membutuhkan data-data yang konkrit, sebagai penguat tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut tidaklah mudah menungkap argumen yang diragukan, karena filologi saja bisa salah menafsirkan apalagi sejarawan yang bisa saja mengungkapkan sesuatu berdasarkan hanya dari pemikirannya sendiri.
Sumber (Diterbitkan oleh) :
Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. PT.Kiblat Buku Utama
www.lingkaraktual.com
Bagikan Artikel